Visi Misi Partai Pidato Bung Karno 1 Juni Pidato Ketua Umum PDIP Piagam PDI Perjuangan Dasa Prasetiya Partai Pengurus PAC PDIP AD PDI Perjuangan ART PDI Perjuangan Mars dan Bendera
Video Photo Audio
Desa Sumbon Desa Kroya Desa Sukamelang Desa Temiyang Desa Temiyangsari Desa Tanjungkerta Desa Sukaslamet Desa Jayamulya Desa Sumberjaya
Facebook Twitter
Peta Kecamatan
PAC PDI PERJUANGAN KROYA
Kamis, 27 Januari 2011 | 15.05 | 0 Comments

Pidato Pembukaan Kongres III PDI Perjuangan, Bali, April 2010

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Salam Sejahtera bagi kita semua
Om Swastiastu


Sebelumnya, marilah kita lebih dahulu bersama-sama memekikkan salam perjuangan kita,

Merdeka!!!


Saudara-saudara Utusan Kongres III PDI Perjuangan, tamu undangan, dan segenap bangsa Indonesia yang saya hormati, cintai dan banggakan,

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah menjaga dan mengantarkan kita kembali ke Bali, tempat dimana kesejarahan PDI Perjuangan ditoreh, dan sekaligus tempat dimana spirit ‘merah’ tetap terjaga.


Kongres PDI Perjuangan III ini diselimuti oleh rasa bela sungkawa mendalam dimana dua tokoh bangsa telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa: yaitu bapak K.H. Abdur Rahman Wahid yang akrab disapa oleh mereka, Gus Dur serta yaitu seorang kader nasionalis yang hidup di tiga zaman yaitu Bapak Frans Seda. Beberapa waktu lalu kita juga kehilangan seorang tokoh PDI Perjuangan yaitu Bapak Subagyo Anam yang hingga akhir hayat terus memberikan sumbangsih bagi Partai. Saya mengajak warga kita semua untuk mendoakan, dan lebih lagi meneladani pikiran dan tindakan mereka dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.


Secara khusus saya juga ingin mengucapkan selamat kepada KH Sahal Mahfudz dan KH Said Agil Siraj yang telah terpilih sebagai Rais Aam dan Ketua Tandfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada Muktamar ke-32 NU di Makassar beberapa waktu lalu. Saya berkeyakinan, di tangan beliau-beliau ini berdua peran sentral Nahdlatul Ulama sebagai pengawal ke-bhinneka-an Indonesia akan terus dan dapat terjaga.


Saudara-saudara utusan peserta Kongres III,
Hari ini kita berkongres bukan sekadar untuk memenuhi kalender 5 tahunan partai, bukan pula sekadar untuk memilih ketua umum atau membagi-bagikan posisi. Tetapi untuk menyalakan kembali suluh perjuangan dan menyatukan diri dalam lengan-lengan perjuangan untuk membangun jiwa dan raga Indonesia merdeka. Mengapa hal ini saya katakan Saudara-saudara? Karena Kongres kali ini dilaksanakan di tengah ingar-bingar politik nasional. Ingar bingar yang sedang menguji apakah jalan demokrasi yang kini kita jalani mampu mengantarkan ke kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik atau justru menjerumuskan kita pada suatu kekelaman sejarah bagi suatua bangsa.


Saudara-saudara,
Sebagai partai kita boleh berbangga karena di tengah-tengah ingar-bingar politik nasional, konsolidasi internal tetap berjalan baik. Pelaksanaan konsolidasi Partai yang telah dipandu oleh SK 435 telah mengantarkan utusan-utusan kita ke Kongres III ini.

Harapan saya, pasca Kongres III, energi partai tidak lagi terserap hanya untuk konsolidasi internal. Pembentukan PAC, Ranting, dan Anak Ranting harus bisa diselesaikan tanpa proses yang berlarut-larut. Kita mesti menyediakan lebih besar lagi energi untuk bekerja, bekerja, dan bekerja bersama rakyat.


Saudara-saudara para kader Partai yang saya cintai dan banggakan,

Sebagai kekuatan politik PDI Perjuangan sedang dihadapkan pada suatu ujian sejarah yang tidak mudah. Kita disodorkan pada suatu pilihan pragmatis antara koalisi dan oposisi. Saya sungguh berduka karena politik telah direduksi tidak lebih dari sekadar urusan perebutan dan pembagian kekuasaan antar kekuatan politik, antar elit politik. Saya berduka karena pemahaman di atas meninggalkan inti etis dan ideologis dari politik sebagai suatu seni dan sarana kebudayaan rakyat untuk mewujudkan suatu kedaulatan politik, keberdikarian ekonomi, dan jati-diri kebudayaan kita sebagai bangsa merdeka.


Dalam kesempatan ini saya perlu tegaskan bahwa cita-cita yang melekat dalam sejarah Partai kita jauh lebih besar dari sekadar urusan kursi di parlemen, atau sejumlah menteri, ataupun juga sampai melangkah ke istana merdeka, saudara-saudara. Kita diajarkan dan ditakdirkan oleh sejarah bahwa perjuangan mengangkat harkat-martabat wong cilik seperti yang dilakukan Bung Karno adalah lebih utama dari urusan bagi-bagi kekuasaan. Saya ingin tegaskan bahwa dalam dialektika dengan rakyat tugas sejarah setiap kader akan dinilai dan tugas sejarah dari partai akan ditimbang. Saya berkeyakinan, dalam kegotong-royongan dan permusyawaratan dengan rakyat, masa depan PDI Perjuangan akan menemukan kembali puncak keemasannya. Karenanya, karenanya saudara-saudara sebagai kader, kita harus berbangga bukan ketika kita bersekutu dengan kekuasaan, tapi ketika kita bersama-sama menangis dan bersama-sama tertawa dengan rakyat, saudara-saudara.


Sebagai partai ideologis posisi kita sangat jelas: kita tidak akan pernah menjadi bagian dari kekuasaan yang tidak berpihak pada wong cilik. Apalagi dari sudut ketata-negaraan yang kita anut, diskursus mengenai oposisi-koalisi tidak punya pondasi untuk diperdebatkan. Kita tidak perlu terjebak dalam diskursus semacam ini.


Penegasan di atas tidak berarti PDI Perjuangan anti kekuasaan. Tetapi ini untuk menegaskan bahwa jika kita harus memegang tampuk pemerintahan, biarkan itu terjadi karena kehendak rakyat, saudara-saudara. Dan sebaliknya, jika rakyat menghendaki kita menjadi kekuatan penyeimbang agar prinsip checks and balances bisa berjalan, biarkan pula itu atas kehendak rakyat yang kita cintai, saudara-saudara.


Sebagai kekuatan pengontrol dan penyeimbang, kita bukan saja diwajibkan untuk mengkritik. Tapi juga untuk mengajukan berbagai alternatif kebijakan. Bagi kepentingan bangsa ini, hal ini sangat strategis karena akan tersedia pilihan-pilihan yang semakin beragam bagi masyarakat sendiri untuk memilih.


Saudara-saudara utusan kongres yang saya cintai,
Posisi di atas adalah wujud tanggung-jawab kita sebagai kekuatan politik; tanggung-jawab kita untuk menjaga agar demokrasi yang sehat dapat tetap bekerja dengan sebaik-baiknya. Tanggung-jawab untuk memberikan pendidikan politik bahwa moral politik yang paling sederhana yang dituntut dari seorang pemimpin yang betul-betul revolusioner adalah satunya kata dengan perbuatan, satunya mulut dengan tindakan. Posisi di atas sekaligus adalah wujud penghormatan kita pada pilihan rakyat. Saya sangat berharap, agar pilihan PDI Perjuangan ini bisa dihormati oleh semua pihak.

Rakyat memilih ketika pemilu, karena visi dan misi. Karenanya, menurut saya adalah suatu hal yang aneh, kalau yang namanya saya itu kok terus menerus disuruh bergabung, saya punya misi dan visi sendiri bagi rakyat ini


Saudara-saudara sekalian,
Jika kita mau sedikit merenung, maka kita pasti akan sampai pada keyakinan bahwa kegagalan kita dalam memaknai garis sejarah sebagaimana saya sampaikan di atas merupakan inti sebab dari ditinggalkannya PDI Perjuangan dalam dua pemilu yang lalu. Kemerosotan suara, ingat! adalah teguran rakyat agar kita kembali ke takdir sebagai sarana dan wadah perjuangan rakyat. Saudara-saudara-ku, ingatlah akan hal ini: rakyat tidak akan pernah ragu-ragu untuk kembali menegur dengan cara lebih keras di tahun 2014 nanti, jika kita gagal kembali ke jalan ideologis kita.

Sudah saatnya kita menyadari untuk kemudian bangkit membenahi segala kekurangan dan kelengahan kita selama ini. Sudah saatnya kita menata ulang seluruh perangkat perjuangan untuk kemudian menatap dengan penuh optimisme bahwa partai ini adalah partainya wong cilik dan dipersembahkan bagi mereka. Sudah saatnya PDI Perjuangan kembali aktif dalam membangun solidaritas horizontal bersama rakyat untuk membuat lompatan kualitatif. Sudah saatnya PDI Perjuangan kembali menjadi kekuatan yang merajut keaneka-ragaman kita ke dalam satu kesatuan tekad, satu kesatuan jiwa, dan satu kesatuan gerak.

Saya mengajak setiap warga partai dimanapun mereka berada mari kita jadikan lima tahun kemarin sebagai pelajaran berharga, dan kita jadikan lima tahun ke depan sebagai tahun-tahun PERUBAHAN & KEBANGKITAN KEMBALI, saudara-saudara.

Ini mengingatkan saya, pada tahun tahun sulit yang pernah dilewati oleh Bung Karno, dan hingga hari ini masih terngiang di telinga saya, kata-kata Beliau: “Majulah terus, jangan mundur, mundur-hancur, mandeg ambleg; bongkar, maju terus, kita tak bisa dan tak boleh berbalik lagi. Kita telah mencapai suatu point of no return !!!”, saudara-saudara.

Untuk itu, kita tidak punya pilihan lain kecuali kembali ke jati diri sebagai partai yang mempunyai ideologis.


Saudara-saudara,
Menjadi partai ideologis bukanlah suatu pilihan yang mudah. Perkembangan sepuluh tahun terakhir ini menunjukkan besarnya tantangan yang harus kita jawab. Kita dihadapkan pada rendahnya kecakapan dan tidak tersedianya media bagi partai dalam mengelola opini dan membangun komunikasi. Kita bahkan belum memiliki sistem data base yang handal sebagai dasar pengambilan keputusan.


Kita dihadapkan pada keterbatasan sumber pembiayaan di tengah-tengah kebutuhan anggaran pengelolaan partai yang semakin besar. Kita dihadapkan pada kelangkaan kepemimpinan baik secara kualitas maupun kuantitas. Pengaturan kelembagaan partai kita masih terpusat pada satu tiang penyanggah, yakni organisasi partai dari DPP hingga anak ranting saja. Kita membiarkan tangan-tangan partai yang mengelola kekuasaan dan pemerintahan tidak diatur dalam AD/ART partai. Ini menimbulkan kesulitan dalam membangun koordinasi dan sinergi lintas pilar penyangga partai. Kita akhirnya harus berhadapan dengan kenyataan, meluasnya kecenderungan fraksi berjalan sendiri-sendiri atau sebaliknya kegagalan struktural partai dalam memberikan arahan bagi fraksi dan dalam membangun komunikasi dan sinergitas dengan kepala daerah.


Kita dihadapkan pada persoalan kaderisasi dan penataan jenjang karier yang belum terlembaga dengan baik. Kita juga dihadapkan pada belum terlembaganya sistem dan mekanisme rekrutmen yang membuat proses regenerasi berjalan lamban dan kesulitan mendatangkan tunas-tunas harapan bangsa yang dipersiapkan untuk menjadi calon pemimpin partai dan bangsa ke depan.


Regenerasi memang tidak secepat yang kita harapkan. Tetapi kita jangan salah kaprah seakan proses regenerasi tidak terjadi. Cobalah tengoklah ke daerah-daerah, cukup banyak tunas-tunas baru yang tumbuh. Tengoklah di parlemen kita, semakin banyak generasi muda berkiprah. Merekalah yang telah siap menyatakan diri memimpin bukan saja PDI Perjuangan, tetapi juga menjadi pemimpin bangsa yang di masa datang yang saya yakin tidak terlalu lama lagi. Saudara-saudara.
Melihat semua ini saya sering merenung dan berkata pada diri saya sambil menertawakan diri saya; “Bagaimana Saya bisa belajar pada suatu partai yang dalam waktu begitu cepat bisa naik sampai 300%.”


Saudara-saudara,
Saya ingin belajar kiatnya karena PDI Perjuangan juga berkeinginan seperti itu saudara-saudara.
PDI Perjuangan juga dihadapkan pada rendahnya disiplin warga partai sebagai salah satu tulang punggung tegaknya partai ideologis. Kita dihadapkan pada kemerosotan militansi anggota. Voluntarisme dan aktivisme memudar sebagai elan berpolitik digantikan dengan pertimbangan “untung-rugi”. Ditinggalkannya TPS oleh saksi Partai pada pemilu legislatif dan pilpres adalah suatu contoh kecil, saudara-saudara.


Dari sisi eksternal, tantangan bagi PDI Perjuangan untuk kembali ke jalan ideologis juga tidak ringan.
PDI Perjuangan harus bekerja dalam situasi psiko-politik “anti-partai” dan “anti-ideologi”. PDI Perjuangan harus bekerja dalam suatu masyarakat yang semakin pragmatis, transaksional, dan berpikir instant untuk kepentingan individual berjangka pendek. Kita harus bekerja dalam situasi dimana sebagian pihak menganggap bahwa menduduki jabatan publik melalui jalan partai adalah jalan baru bagi keamanan ekonomi. Partai bukan lagi sebagai alat ideologi, alat perjuangan tapi alat akumulasi ekonomi. Partai menjadi sarana transportasi cepat untuk keuntungan ekonomi individual, bukan lagi sarana untuk mewujudkan kepentingan rakyat, saudara-saudara.
Kita juga harus bekerja di dalam situasi ”citra” menjadi daya tarik baru yang jauh lebih kuat ketimbang ideologi. Kita harus berhadapan dengan sebuah rezim politik yang cenderung menggunakan metode menghalalkan cara dalam mencapai tujuan politiknya sebagaimana digambarkan oleh kekacauan luar biasa pada pemilu legislatif dan presiden yang baru lalu.
Saya banyak keliling ke daerah-daerah saudara-saudara, saya bukanlah orang yang hanya menunjuk jari, di daerah-daerah saya melihat bagaimana banyak orang tidak diberi kesempatan untuk bisa ikut memilih.
Menjadi kader-kader yang menempatkan keutamaan keuntungan diri sendiri ketimbang bagi rakyat. Kesemua tantangan di atas, baik internal maupun eksternal perlu disikapi oleh Kongres III kali ini. Hanya dengan cara itu, partai bisa melangkah dengan lebih meyakinkan lagi. Tetapi saya perlu garis-bawahi, Kongres bukan saja perlu menegaskan kembali Pancasila 1 Juni 1945 sebagai ideologi partai yang bersifat final. Tetapi juga harus mengembangkan instrumen agar Pancasila dapat bekerja dalam partai, dapat menjiwai keseluruhan program dan sikap Partai, serta dapat menjadi karakter politisi partai.
Saya ingin mengucapkan terimakasih yang setinggi-tinggi pada Pimpinan MPR yang telah dengan sekuat tenaga mendorong pemerintah untuk menetapkan 1 Juni, Pancasila 1 Juni 1945 untuk bisa disosialisasikan bagi seluruh bangsa dan negara, saudara-saudara.


Saya juga perlu menegaskan bahwa kemerosotan suara kita dalam pemilu lalu adalah juga produk dari penyelenggaraan demokrasi yang manipulatif. Pemilu Legislatif dan Presiden 2009 secara terang benderang telah mendemonstrasikan watak manipulatif dari proses berdemokrasi kita. Kita menyaksikan, karut-marutnya Daftar Pemilih Tetap atau DPT yang telah menghilangkan secara paksa dan sistematis hak politik warga negara. Bahkan lebih lagi, merupakan perampasan secara paksa atas hak konstitusional warga-negara. Kita seharusnya bersedih karena keseluruhan proses Pemilu 2009 yang memakan biaya yang sangat besar justru meninggalkan begitu banyak catatan hitam dalam sejarah politik Indonesia.


Saudara-saudara,
Sebagai Presiden pada tahun 2004, saya telah mencoba dengan susah payah membangun sistem demokrasi yang dikehendaki dalam alam reformasi agar Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih secara langsung oleh rakyat. Pada saat itu, tidak terpikirkan sedikitpun oleh saya untuk menciderai jalannya demokrasi. Karena saya berkeyakinan, rakyat adalah yang berhak untuk mendapatkan kembali kedaulatannya sebagai penentu kehidupan politik, setelah sekian lama dibungkam. Meski saat itu saya dikalahkan tetapi saya berbangga dan berkeyakinan bahwa dalam jangka panjang demokrasi yang telah diletakkan akan menjadi jalan keluar bagi kesejahteraan rakyat serta bagi terpeliharanya kemajemukan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, saudara-saudara. Ternyata keyakinan saya di atas tidak sepenuhnya benar.


Pemilu 2009 menunjukkan, politik kehilangan watak aktivisme dan voluntarismenya. Yang kita saksikan justru politik sebagai melodrama, berpola seperti sinetron yang sarat dengan belas-kasihan dan kepura-puraan. Politik juga menjadi kehilangan ‘keutamaan’ dan ‘moralitas’ karena hampir sepenuhnya hanya dipersembahkan untuk kekuasaan.

Sebagai pilar negara demokrasi, partai berubah fungsi menjadi sekedar “penjual tiket” kekuasaan. Yang terjadi kemudian, hubungan politik antara rakyat dan partai, dan rakyat dan elit menjadi pola hubungan transaksional, hubungan “untung-rugi”. Pola hubungan yang mendewakan hanya “materi”.

Pola hubungan yang mendewakan materi di atas memang tampak menguntungkan hanya untuk jangka pendek, saudara-saudara. Ada hal yang jangan dilupakan, yakni berapa lama hal itu bisa berlangsung sementara tujuan masyarakat adil dan makmur semakin jauh dari kenyataan? Bukankah proses ini hanya akan berakhir dengan kaum papa yang akan semakin papa dan terus termarjinalkan? Itukah yang kita inginkan dan bangsa Indonesia perjuangkan selama ini?

Hal-hal di atas mencemaskan karena moralitas negara demokrasi yang dibangun melalui partai, idealnya dimaksudkan agar pendidikan politik kewarganegaraan dapat diwujudkan. Partai adalah “taman sari” untuk menyiapkan kader-kader pemimpin bangsa dan negara guna mengisi sirkulasi kekuasaan secara damai. Tugas etis partai di atas dalam kenyataannya di-subkontrakkan kepada segelintir konsultan politik yang menghasilkan deretan angka yang menghegemoni masyarakat. Akibatnya, prinsip dikalahkan oleh citra dan pendidikan politik digantikan dengan indeks kepuasan publik belaka.

Inilah hal-hal yang perlu kita semua renungkan kembali. Apakah realitas seperti ini yang kita kehendaki bagi masa depan Indonesia kita? Realitas dimana survei dan indeks kepuasaan menjadi lembaga dan instrumen baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Realitas dimana citra dikedepankan tetapi di saat yang sama, membiarkan tugas sejarah mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum serta melahirkan Indonesia yang bermartabat, menjadi sekadar pekerjaan seolah-olah.


Akhirnya secara realita hanya kaum berpunya yang bisa memiliki akses ke politik dan membiarkan rakyat kebanyakan sekadar sebagai penonton yang hanya menikmati sekadar keuntungan ribuan rupiah dalam setiap siklus pemilihan umum. Realitas dimana rakyat kehilangan kemandiriannya dalam politik.

Saya sering bertanya-tanya, apa salahnya kalau rakyat ingin mandiri? Apa salahnya kalau ingin mewujudkan rakyat berdikari? Bukankah suatu bangsa yang berdikari harus ditopang oleh rakyat yang dapat berdiri di atas kakinya sendiri, saudara-saudara.

Karena melihat pada hal-hal di atas, kita bukan saja dituntut untuk bergotong-royong dan bermusyawarah dengan rakyat sebagai inti berpolitik PDI Perjuangan, partai kita. Tetapi juga, harus dapat mengorganisir kekuatan rakyat untuk menjaga agar watak manipulatif di atas tidak akan pernah berulang di 2014 nanti. Rakyat perlu sekali lagi diorganisir agar keutamaan dan moralitas kembali menjadi prinsip-prinsip dasar dalam berpolitik. Lebih lanjut rakyat perlu diorganisir agar terbangun kesadarannya untuk melawan citra bahwa bukan sebagai satu-satunya ukuran berpolitik.

Semua di atas harus semua kita tata kembali. Hal ini bukan saja untuk menjamin prinsip-prinsip jujur dan adil langsung umum bebas dan rahasia bisa ditegakan sehingga kita boleh bertepuk dada sebagai suatu negara demokrasi terbesar nomor 3 di dunia. Tetapi, juga agar kita boleh meletakkan budaya politik baru: menang secara terhormat, kalah secara bermartabat.


Saudara-saudara yang saya cintai,
Penegasan jalan ideologis yang memihak pada rakyat kecil di atas bukan saja penting bagi masa depan PDI Perjuangan. Tetapi sangat fundamental bagi masa depan bangsa ini. Mengapa? Jawabannya sederhana: sebuah bangsa yang tidak dibangun di atas fondasi ideologi, ibarat membangun rumah di atas pasir; terkena angin sedikit sirnalah dia. Ia bukan saja akan terombang-ambing, akan tetapi mudah tersapu oleh zaman. Tanda-tanda zaman yang akan menyapu bangsa ini kini berada di hadapan mata kita: sebagai bangsa kita kehilangan kedaulatan dalam bidang politik, kita kehilangan kemandirian dalam bidang ekonomi, dan kita kehilangan identitas dalam kebudayaan. Inikah Indonesia yang dibayangkan oleh para pejuangan dan Proklamator Bangsa?

Apakah salah jika kita mencita-citakan ingin berdaulat dalam bidang politik? Kemandirian di bidang ekonomi? Identitas budaya kita jelas.

Pengalaman sejumlah negara adidaya akhir-akhir ini menunjukkan sebuah bangsa bukan saja membutuhkan ideologi, tapi ideologi yang didedikasikan bagi mayoritas rakyat. 100 tahun lalu tidak terpikirkan bahwa jalan kapitalisme dari negara-negara di atas akan membawa mereka ke suatu krisis yang mendalam. Sebagai seorang pemikir, Bung Karno telah memprediksi sejak tahun 1930: saya sitir, beliau mengatakan kapitalisme mengandung kontradiksi-kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Ia pasti akan memakan anaknya sendiri. Dan inilah yang sedang kita saksikan. Sebagai bangsa, sudah tentu kita tidak ingin berjalan di rel yang keliru. Kita sudah memiliki Pancasila 1 Juni 1945. Itulah jalan yang telah kita pilih sebagai suatu keyakinan tanpa ragu, saudara-saudara.


Berbagai kehilangan di atas disebabkan karena kita tidak waspada. Kita mengira era pertarungan ideologi telah berakhir. Padahal realitas di sekitar kita mengatakan dengan jelas: inilah era puncak pertarungan ideologi dalam berbagai bentuk baru dan menjangkau setiap sendi kehidupan. Saya akan memberikan 2 contoh, yakni demokrasi dan pengelolaan pemerintahan guna menjelaskan hal ini.


Demokrasi Indonesia yang telah lama kita perjuangkan bukanlah suatu ruang kosong yang bekerja secara metafisis ataupun mekanis. Ia adalah medan peperangan ideologi. Demokrasi prosedural yang kini kita jalani berangkat dari kutub ideologi liberal-individual. Sebagai ideologi ia memberikan mekanisme dan jaminan berkompetisi dan melahirkan pemenang dan pecundang. Demokrasi liberal tak akan pernah menjadi bentangan karpet merah menuju keadilan sosial bagi segenap tumpah darah Indonesia. Ia bukan pula jalan bagi penguatan partisipasi rakyat. Demokrasi semacam ini bisa jauh lebih buruk lagi, ketika dia dibangun di atas politik pencitraan dan bekerja untuk melindungi citra itu semata-mata. Demokrasi Indonesia mestinya dibangun di atas keutamaan kolektivitas, dijalankan melalui musyawarah untuk mufakat, dan bekerja di tengah-tengah keyakinan akan kebhinnekaan sebagai anugrah Alllah Subhana wa ta’ala. Ia adalah demokrasi yang konon kata para ahli adalah demokrasi deliberatif.


Saudara-saudara utusan Kongres ke III,
Pengelolaan pemerintahan kita akhir-akhir ini juga menunjukkan wataknya yang semakin menjauhi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa? Kecenderungan menciptakan semakin banyak lembaga menyebabkan fragmentasi pemerintahan yang serius. Setiap hari media massa menyajikan betapa kronisnya fragmentasi yang terjadi akibat dari tidak adanya tuntunan ideologis yang jelas. Akhirnya sangat jelas: suatu kekacauan pengelolaan pemerintahan.

Salah satu bukti dari terjadinya kekacauan pengelolaan pemerintahan yang masih up to date dewasa ini adalah kasus Bank Century. Kasus ini adalah merupakan hanya salah satu puncak gunung es dari kekacauan tata-kelola pemerintahan. Kita sudah menyatakan sikap dengan jelas melalui Fraksi PDI Perjuangan: kebijakan pemberian Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek atau FPJP dan Penyertaan Modal Sementara atau PMS adalah salah. Karenanya, kepada Fraksi sudah saya perintahkan untuk memilih opsi C dan terus mengawasi proses penyelesaian kasus ini dalam batas-batas kewenangannya.

Dengan kesepakatan DPR telah menunaikan kewajiban konstitusional-nya untuk menuntaskan kasus Bank Century ini. Kini giliran pemerintah dan terutama presiden untuk menindak-lanjuti dan menuntaskannya melalui saluran hukum.

Perlu saya tegaskan, rakyat sendiri harus aktif terlibat dalam mengawasi. Media massa sebagai pilar keempat demokrasi, juga perlu melalukan fungsi pengawasannya. Kita tidak bisa membiarkan proses yang ada hanya diawasi oleh lembaga-lembaga formal saja. Mengapa? Karena pengalaman masa lalu telah mengajarkan kepada kita, sejumlah keputusan DPR yang perlu ditindak-lanjuti pemerintah justru menguap tanpa jejak.


Saudara-saudara utusan Kongres yang saya cintai dan banggakan,
Saya menyadari sepenuhnya bahwa perjuangan tidak akan pernah sampai ke akhir tujuannya hanya dengan ideologi. Perjuangan tak akan pernah mencapai terminalnya hanya dengan retorika belaka. Untuk bisa bekerja efektif, ideologi membutuhkan kader. Ideologi membutuhkan pemimpin. Ideologi membutuh organisasi dan manajemen yang baik. Ideologi membutuhkan aturan bermain. Ideologi membutuhkan kebijakan. Ideologi membutuhkan program yang merakyat. Ideologi membutuhkan sumber-daya.

Saya berharap, hal-hal strategis di atas bisa diputuskan oleh Kongres sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam partai. Karenanya, saya minta pada setiap utusan Kongres III kali ini untuk menyadari dengan sepenuh-penuhnya, sejarah sedang memberikan kesempatan bagi kita, kesempatan emas untuk bangkit. Gunakanlah kesempatan sejarah ini untuk menghasilkan keputusan yang sebaik-baiknya bagi partai, bangsa dan negara.


Untuk itu, mari kita kembali ingat akan kata-kata Proklamator kita, Bung Karno, beliau mengatakan, mengambil kata-kata ini dari bahasa Sansekerta:

“KARMA NEVAD NI ADIKARASTE MA PHALESHU KADA CHANA”,

“Kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitungkan akibatnya!”.

Kata-kata di atas, adalah tulisan tangan Bung Karno yang dikutip dari Percakapan Kedua, Kitab Baghawad Gita. Kata-kata di atas adalah sebagian dari nasihat Kresna pada Arjuna di medan perang Kurusetra. Nasihat yang disampaikan setelah Arjuna nampak bimbang menghadapi lawan-lawannya yang adalah para guru dan sanak-saudara sendiri.

Tuhan pasti memberikan jalan bagi kita semua.

Kader Partai yang saya cintai dan banggakan, saudara sebangsa dan setanah air


Mengakhiri pidato ini, ijinkan saya dan seluruh jajaran DPP PDI Perjuangan yang nanti akan segera demisioner, menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas kepercayaan warga PDl perjuangan terhadap saya dalam memimpin partai ini selama lima tahun.


Terimakasih dan penghargaan juga saya sampaikan kepada daerah-daerah yang dengan keras telah mampu mempertahankan, bahkan menaikkan jumlah perolehan suaranya dalam Pemilu legislatif maupun Pemilu Presiden.

Silahkan berdiri daerah-daerah yang telah memenangkan PDI Perjuangan, Bali, Kalbar....

Terimakasih dan penghargaan saya sampaikan kepada sesepuh partai yang telah banyak membantu kerja partai melewati masa-masa yang tidak mudah.

Kepada Panitia Kongres yang telah bekerja dengan sangat keras selama berbulan-bulan dalam mempersiapkan Kongres ini supaya sukses, terimakasih dan penghargaan yang tinggi saya sampaikan kepada pemerintah Provinsi dan warga Bali, ucapan terimakasih atas bantuan dan sambutannya yang selalu meriah bagi PDI Perjuangan.

Pada aparat keamanan, terimalah rasa terimakasih dan hormat kami atas segala kerja keras sehingga penyelenggaraan Kongres III ini bisa berjalan tanpa gangguan.

Terimakasih juga saya sampaikan pada para pengamat yang telah berkeinginan meluangkan waktu untuk hadir di arena Kongres III kali ini.

0 komentar:

Posting Komentar


Simpatisan PDI Perjuangan

 
Copyright PAC PDI PERJUANGAN KROYA © 2011 - Created by UU Kursilah